WELCOME TO MY BLOG
LEGENDA DAMAR WULAN DAN MENAK JINGGA

Posted On 28 Mei 2013
Sandhyakala ning Majapahit oleh Sanoesi Pane
Sandhyakala ning Majapahit merupakan sebuah drama yang ditulis berdasarkan cerita karya sejarah (tentang Kerajaan Majapahit) . Pada bagian awal, yaitu bagian ‘Kata Bermula’ diungkapkan bahwa cerita tersebut ditulis berdasarkan berita dalam Serat Kanda, Damar Wulan, Pararaton, dan Nagarakrtagama. diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Pustaka Jaya, Yayasan Jaya Raya, tahun 1971.
Cerita drama SNM ini terdiri atas pengantar cerita (Kata Bermula) dan lima bagian (babak).
Kata bermula berisi tentang doa kepada Syiwabudha, agar lakon yang dipersembahkan itu berjalan dengan selamat. Selain itu, diceritakan pula asal (sumber) cerita, siapa tokoh Damar Wulan itu, dan harapan pujangga kepada generasi berikutnya untuk membuat naskah drama yang lebih baik.
Drama ini berkisah tentang tokoh Damar Wulan yang bergelar Raden Gajah, seorang pahlawan di Kerajaan Majapahit, yang kemudian dihukum mati karena dituduh ingin menguasai kerajaan. Ia adalah putra dari Patih Udara dan Nawangsasi, dan keponakan dari Patih Majapahit. Di dalam diri Damar Wulan mengalir dua bakat, yaitu bakat seorang pendita dan bakat seorang kesatria. Kedua bakat itulah yang membuat tokoh utama dalam SNM ini menjadi seakan berputus asa, seakan menjadi seorang yang bimbang. Kedua bakat itu pula, akhirnya, membawa Damar Wulan pada situasi yang sulit dan membingungkan, ketika Majapahit membutuhkan tenaganya untuk menghadapi Adipati Wirabumi, Menak Jingga, yang berkhianat kepada kerajaan. Dia berada dalam dilema antara kewajiban menjadi seorang kesatria dan keinginan untuk menjadi seorang pendita. Kedua pilihan tersebut sama-sama sulit atau tidak menguntungkan untuk saat itu di Majapahit. Namun kemudian, dengan berbagai pertimbangan dan pemikiran yang sulit serta berkat dorongan kekasihnya, Anjasmara, dia memutuskan untuk berangkat ke Wirabumi sebagai kesatria, guna menjatuhkan Menak Jingga.
Sebagai seorang keturunan kesatria, sejak kecil Damar Wulan telah dipersiapkan untuk menjadi seorang kesatria. Ke-kesatria-an ini telah dibuktikannya dengan ikut membantu Adipati Tuban berperang melawan Menak Jingga, di Wirabumi. Dalam perang itu, Damar Wulan memperlihatkan kehandalannya sebagai prajurit perang. Oleh karena itu pula, dia direkomendasi oleh Adipati Tuban untuk mengantikannya sebagai pemimpin pasukan perang ke Wirabumi. Hanya saja, setelah kembali ke Paluh Amba, setelah ikut berperang membantu Adipati Amba, dia menjadi bimbang. Dia menyadari, bahwa “ketika perang masih berlaku hanya kuingat maju ke muka, memusnahkan segala yang menghambat daku” . Akan tetapi, setelah itu, dia senantiasa teringat orang yang telah dibunuhnya. Dia tidak sampai hati melihat anak dan ibunya menunggu bapak dan suaminya di pintu gerbang. Tangisan anak dan ibu tadi sangat memilukan hatinya dan membuat jiwanya menderita, dan perasaan berdosa selalu membebaninya.
Sementara itu, Damar Wulan juga melihat dan berpikir bahwa Majapahit tidak perlu ditolong lagi. Sebenarnya, tanpa serangan Menak Jingga pun, Majapahit telah runtuh. Hal itu disebabkan oleh ‘bobrok’nya moral para pendita dan para bangsawan. Agama tidak lagi diperlukan untuk meninggikan budi, tetapi diperlukan untuk memperkukuh kekuasaan. Pendita hanya berguna untuk menambah kebodohan, karena agama dijadikan takhyul dan arca disembah seperti dewa. Para kesatria sudah berlaku sebagai perampok, sementara rakyat semakin kurus dan sengsara.
Kedua kondisi di atas mendorong Damar Wulan untuk berpikir memilih menjadi seorang pendita. Oleh karena itu pula, dia cukup lama berdiam diri dan tidak menghiraukan Majapahit yang ‘nyaris’ dikuasai oleh Menak Jingga. Barangkali, hal itu dilakukan oleh Damar Wulan adalah untuk menebus perasaan berdosanya tadi. Dengan demikian, dia juga berharap akan dapat menyadarkan para pendita dan para bangsawan dan mengembalikan agama kepada fungsi dan posisinya yang semula. Akan tetapi, jauh dilubuk hatinya, Damar Wulan merasakan panggilan yang sangat kuat untuk menjadi seorang kesatria. Di samping itu, dia sadar betul bahwa Majapahit berada dalam kondisi yang sangat menjemaskan. Tentu saja, keinginannya itu menjadi tidak tepat untuk kondisi negara yang seperti itu. Dalam keadaan negara yang kacau, dia tidak akan dapat melakukan perbaikan di bidang agama dan moral tadi. Itulah dilema yang dihadapi oleh Damar Wulan. Namun, akhirnya, dia memutuskan untuk pergi berperang melawan Menak Jingga ke Wirabumi.
Pilihan akhir dari Damar Wulan membuat keinginannya menjadi kenyataan. Dia menang melawan Menak Jingga dan diangkat menjadi Ratu Angabaya. Dia berhasil mengembalikan moral dan agama pada posisinya semula di kalangan rakyat, tetapi dia dimusuhi oleh para pendita dan para bangsawan, yang takut kekuasaannya akan menjadi hilang. Akhirnya, Damar Wulan dihukum mati, karena dituduh akan merebut kekuasaan Majapahit oleh kedua kaum tadi. Meskipun, Damar Wulan mati, namun dia telah berhasil menyadarkan rakyatnya. Hal itu dibuktikan oleh kemarahan rakyat mendengar Damar Wulan dihukum mati. Mereka menyerang Majapahit dan untuk kemudian Majapahit runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Islam. ***
Syair Damarwulan dalam Kesusastraan Melayu
Sebuah Penafsiran ala Strukturalisme Levi-Strauss
Penulis : Partiningsih (skripsi kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
Bagi pengkaji sastra Melayu, buku ini cukup penting untuk dibaca karena dapat dijadikan sumber referensi dalam mengkaji kebudayaan Melayu yang penuh dengan kisah dan mitos.
Sebagai sebuah kajian sastra, buku ini sangat menarik dan membuat banyak orang penasaran. Orang akan bertanya, benarkah di tanah Melayu ada kisah Damarwulan? Bukankah kisah ini hanya ada di Jawa? Bagi orang antropologi, khususnya antropologi politik, sekilas tentu akan menduga jika memang ada hal itu pasti dilatarbelakangi oleh sentimen Jawa, sehingga orang Melayu membuat cerita tandingan. Seperti halnya kisah tentang asal nama Minangkabau, salah satu versinya menyebutkan bahwa nama Minangkabau berasal dari kemenangan orang Minang beradu kerbau dengan orang Majapahit. Menang kerbau menjadi Minangkabau.
Akan tetapi, jika membaca karya Partiningsih ini, cerita Damarwulan versi Melayu lebih mirip dengan versi Jawa, hanya bentuknya saja yang berbeda. Versi Jawa ditulis dalam bentuk cerita, sedangkan versi Melayu ditulis dalam bentuk puisi.
Pada umumnya, kisah tentang Damarwulan memang dianggap berasal dari Jawa. Kisah ini berlatarbelakang kejayaan Kerajaan Majapahit tempo dulu. Namun, dalam buku ini Partiningsih menemukan bahwa dalam khazanah kebudayaan Melayu, kisah Damarwulan juga ada, meskipun dalam bentuk syair.
Melalui pendekatan Levi-Strauss, Partiningsih membuktikan bahwa syair Damarwulan Melayu memang penuh cita rasa kebudayaan Melayu, meski nama-nama dalam syair tetap menggunakan nama-nama yang sama dengan kisah versi Jawa. Sebenarnya jika dicermati memang agak aneh, mungkinkah orang Melayu memiliki nama Patih Logender (ditulis Pati), Menakjingga, atau Anjasmara?.
Syair Damarwulan adalah sebuah naskah. Jika demikian, syair ini merupakan sebuah teks yang harus dibaca agar dipahami maksudnya. Pembacaan dilakukan dengan pendekatan Levi-Staruss, yaitu mencoba mencari struktur terdalam pada syair Damarwulan Melayu. Jika sudah ditemukan strukturnya, baru kemudian ditafsirkan berdasarkan konteks kebudayaan Melayu.
Apa yang dilakukan oleh Partiningsih sebenarnya bukan pada syair Damarwulan Melayu ini, akan tetapi lebih pada membaca Melayu, terutama upaya untuk memahami kebudayaan Melayu melalui teks. Apabila di dalam pembacaan ini nantinya terdapat kesalahan, maka hal itu masih wajar. Menjadi tidak wajar jika dalam pembacaaan ini nantinya Partiningsih melibatkan emosinya sebagai orang Jawa yang juga memiliki kisah Damarwulan. Tentu hal ini akan menjadi bias.
Dalam kesimpulannya, Partiningsih tampaknya cukup dapat menjaga perasaan kejawaannya sehingga tidak terlihat rasa Jawa dalam skripsi ini, akan tetapi tetap mengedepankan sisi ilmiah sesuai dengan pendekatan Levi-Strauss. Syair Damarwulan dalam hal ini tampak sebagai sebuah naskah Melayu yang mengajarkan kemandirian, kejujuran, keluarga, dan sikap satria, yang juga diajarkan dalam kebudayaan Melayu. Intinya, syair Damarwulan yang dikupas Partiningsih yang orang Jawa itu tetap mengusung keluhuran budaya Melayu.
Damar Wulan, Wayang Klitik dari Jawa Timur.
Damar Wulan (sering juga ditulis Damarwulan) adalah seorang tokoh legenda cerita rakyat Jawa. Kisah Damar Wulan ini cukup populer di tengah masyarakat dan banyak terdapat versi lakon, sendratari ataupun cerita tertulis yang telah dibuat mengenainya. Umumnya, kisah-kisah tersebut adalah berdasarkan Serat Damarwulan[4], yang diperkirakan mulai ditulis pada masa akhir keruntuhan Majapahit.
Diceritakan awalnya Damar Wulan mengabdi sebagai tukang rumput kepada Patih Loh Gender dari Majapahit. Karena kepandaiannya, Damar Wulan dapat menjadi abdi andalan Patih Loh Gender, dan Anjasmara putri sang patih terpikat dan jatuh cinta kepadanya. Damar Wulan kemudian mendapat tugas dari raja putri Majapahit, yaitu Ratu Kencana Wungu, untuk menyamar dengan tujuan membantu mengalahkan Menak Jinggo penguasa Blambangan yang bermaksud memberontak kepada Majapahit. Damar Wulan yang tampan dapat menarik perhatian selir-selir Menak Jinggo, yaitu Waeta dan Puyengan. Dengan bantuan mereka, Damar Wulan berhasil memperoleh senjata sakti gada Wesi Kuning milik Menak Jinggo. Menak Jinggo kemudian berhasil dikalahkan dan Damar Wulan menjadi pahlawan. Ia memboyong kedua selir tersebut, serta pada akhirnya juga mempersunting sang raja putri Majapahit.
Cerita alternatif
Dalam kesenian wayang Banyuwangi dan Janger, penggambaran Menak Jinggo berlawanan dengan penggambaran dalam Serat Damarwulan. Menak Jinggo digambarkan berwajah rupawan, disukai banyak wanita, arif bijaksana, dan pengayom rakyatnya. Menak Jinggo memberontak karena Kencana Wungu tidak memenuhi janji menjadikannya suami, setelah Menak Jinggo mampu menaklukkan pengacau Kebo Marcuet yang mengamuk di Majapahit. Meskipun akhirnya ia dikalahkan Damar Wulan, Menak Jinggo tetaplah dianggap terhormat.
Oleh Sanusi Pane, salah seorang sastrawan Pujangga Baru pernah menulis naskah drama Damar Wulan, yang diberinya judul Sandyakala Ning Majapahit. Meskipun demikian, akhir ceritanya sama sekali berbeda dengan Serat Damarwulan yang dijadikan dasar pembuatannya. Dalam versi Sanusi Pane, nasib Damar Wulan berakhir menyedihkan. Damar Wulan dituduh berkhianat dan tidak dinikahkan dengan sang raja putri. Ia pun akhirnya dihukum mati, dan setelahnya Majapahit ditumbangkan oleh pasukan dari Kerajaan Demak Bintara.
Syahdan Sang Pramudya Wardani merupakan ratu dari kerajaan Majapahit dan pada masa itu kerajaan dalam masa masa transisi ,banyaknya pemberontakan terutama pemberontakan dari Kadipaten Blambangan yang telah dikuasai seorang mantan Perampok bergelar Kebo Marcuwet dan duduk sebagai raja kecil di Blambangan. Kesaktian sang Adipati Blambangan ini konon tiada yang dapat menandinginya. Sosok inilah yang meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara kerajaan Majapahit, dikarenakan kondisi Majapahit saat itu telah banyak ponggawa ponggawa kerajaan yang terbius akan ketamakan. Bulubekti (Pajak ) yang dipungut dari rakyat tidak maksimal masuk ke kas negara, Sedang pajak yang telah masukpun banyak yang digunakan tidak semestinya dan kondisi ini diketahui oleh Adipati Blambangan.
Melihat kondisi ini banyak orang orang nasionalis yang memberi nasihat pada Ratu dan keluarlah maklumat ,” Barang siapa bisa mengalahkan dan membawa kepala Kebo Marcuwet maka jika laki laki akan dinikahinya,jika perempuan akan diangkat saudara oleh Ratu.”
Banyaklah para pemuda,pendekar yang mencoba menumpas,membunuh Kebo marcuwet akan tetapi semuanya pulang tinggal nama, kabar ini menggelisahkan sang ratu. Suatu pagi di dalam pisowanan agung menghadaplah seorang pemuda bernama Ajingga. Pemuda itu gagah,Tampan, murid seorang pertapa dari Padepokan Cakra Surya di Gunung Lawu. Alkisah Ajingga pun berangkat ke Blambangan dan bertarung dengan Kebo Marcuet, pertarungan yang hebat antar keduanya, konon katanya pertarungan itu memakan waktu 7 hari 7 malam dan Kebo Marcuwetpun bisa dibinasakan. Akan tetapi keadaan Ajingga sangatlah mengenaskan ,tubuhnya banyak terluka. Wajahnya yang ganteng,tampan telah sirna beberapa tubuhnya telah cacat dan jalannya pun telah pincang setelah sembuh karena diobati oleh gurunya.
Setelah sembuh Ajingga menghadap Sang ratu dan menagih janji . Akan tetapi apa yang terjadi setelah dia tiba di keraton Majapahit. Sang ratu menolak karena Ajingga telah berubah menjadi sosok yang menyeramkan,muka yang telah hancur, kaki yang telah cacat. ( he he he ternyata sama saja dari dulu hingga sekarang ,pengorbanan para pahlawan banyak yang disia siakan ). Ajingga diusir dari kerajaan Majapahit dan iapun pergi ke Blambangan ,daerah yang telah ditaklukkannya. Bergelarlah ia menjadi Adipati Menak Jinggo bertahta di Blambangan dan Ajinggapun meneruskan tradisi Kebo Marcuet ,Memberontak pada Kerajaan. Walau akhirnya ia dapat dikalahkan oleh Damarwulan dengan tipuan. Akan tetapi itulah politik segala cara ditempuh,segala jalan diambil entah itu jalan putih ,hitam ataupun abu abu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;